Selasa, 17 Agustus 2010

WR. Soepratman

WR Soepratman
Pencipta Lagu Indonesia Raya
Dimakamkan di TMP Khusus Rangkah Surabaya




WAGE Rudolf Soepratman adalah pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang wafat di Surabaya. Sama dengan Dr.Soetomo, almarhum tidak dimakamkan di TMP (Taman Makam Pahlawan) yang ada di Surabaya, tetapi dimakamkan di TMP khusus. Tepatnya, dekat TPU (Taman Pemakaman Umum) Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya. Sebelum dipindah ke tempat yang sekarang, dulu jenazah WR Soepratman memang dimakamkan di TMP Khusus Rangkah, Surabaya.
WR Soepratman ditetapkan sebagai pahlawan nasional berkat jasanya menciptakan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Selain itu, nama WR Soepratman lekat dengan peringatan Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober. Karena pada Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 28 Oktober 1928 itulah untuk pertamakalinya WR Soepratman memperkenalkan dan memperdengar kan lagu “Indonesia Raya”.
Kecuali peristiwa-peristiwa bersejarah itu, ada satu kebetulan yang luar biasa. Tanggal wafatnya WR Soepratman adalah 17 Agustus 1938. Tepat tujuh tahun sebelum tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadi tanggal keramat bagi Bangsa Indonesia. Jadi, peringatan hari prokmalasi kemerdekaan RI itu, juga bersamaan dengan tanggal wafatnya WR Soepratman.
WR Soepratman menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah kakaknya di Jalan Mangga 21, Tambaksari Surabaya. Dari rumah duka inilah, jenazah almarhum WR Soepratman diusung ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pemakaman umum Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya. Rumah duka itu, kini dijadikan “museum” WR Soepratman.
Bagi warga kota Surabaya, nama WR Soepratman memang tidak asing. Namun demikian belum semua warga kota mengetahui siapa sesungguhnya WR Soepratman. Untuk itulah, berkaitan dengan peringatan 60 tahun Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2005 yang sekaligus bersamaan dengan peringatan wafatnya 67 tahun wafatnya WR Soepratman, kami ungkap agak lebih rinci tentang pencipta lagu Indonesia Raya ini.
Lahir di Jakarta
Soepratman lahir hari Senin tanggal 9 Maret 1903 pukul 11 siang di Jatinegara, Jakarta – waktu itu masih bernama Batavia. Berdasarkan perhitungan kalender Jawa, hari Senin itu nama hari pasarannya disebut: Wage. Itulah sebabnya di depan nama Soepratman ada tambahan Wage. Sedangkan nama Rudolf, adalah pemberian dari kakak iparnya WM van Eldik.
Pancantuman nama Rudolf itu adalah siasat dari WM Van Eldik untuk memasukkan Soepratman bisa masuk ke sekolah Belanda. Maka lengkaplah nama pria berbintang Pisces ini: Wage Rudolf Soepratman.
Soepratman kecil menjadi kesayangan keluarganya. Ini mungkin disebabkan karena dialah satu-satunya anak laki-laki dari pasangan suami-isteri Djumeno Senen Sastrosoehardjo dengan Siti Senen.
Perkawinan Djumeno dengan Siti Senen, ayah dengan ibu kandung Soepratman ini melahirkan enam orang anak. Soepratman adalah anak ke lima. Kakak tertua Soepratman bernama Ny.Roekiyem Soepratiyah. Kakak nomor dua: Ny.Roekinah Soepratirah. Nomor tiga: Ny.Ngadini Soepratini. Nomor empat: Ny.Sarah. Sedangkan si bungsu adik Soepratman bernama Ny.Giyem Soepratinah, kata Ir Oerip Soedarman.
Ir.H.Oerip Soedarman, pensiunan PNS Kantor Gubernur Jawa Timur yang terakhir menjabat sebagai Kepala BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Negeri) Jawa Timur adalah sahabat penulis. Pada tahun 2007 lalu menerbitkan buku revisi Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan WR Soeprtaman Penciptanya. Tahun ini direncakan akan menyempurnakan dan revisi ulang lagi buku yang awalnya ditulis oleh Oerip Kasansengari, ayahanda Oerip Soedarman.
Saat berusia 6 tahun, Soepratman masuk sekolah Budi Utomo di Jakarta. Namun di masa-masa sekolah yang memerlukan kasih sayang seorang ibu itu, justru Soepratman kehilangan. Ibunya meninggal dunia, sehingga ayahnya yang bekerja sebagai tentara KNIL dengan pangkat sersan waktu itu menjadi duda.
Tahun 1914, Soepratman dibawa oleh kakaknya Roekiyem Soepratiyah yang sudah menikah dengan WM van Eldik ke Makassar, Sulawesi Selatan. Di sana kakak iparnya yang nama aslinya adalah Sastromihardjo itu berstatus sebagai administrateur gewapende politie atau pegawai adminitrasi di kantor polisi. Namun ia masuk sebagai anggota koprs musik. Jadi WM van Eldik itu adalal pribumi Jawa Asli, bukan berdarah Belanda, jelas Oerip Soedarman.
Saat berada di Makassar itu Soepratman berhasil dimasukkan ke sekolah Belanda bernama ELS (Europese Lagare School). Karena waktu itu kaum pribumi tidak mudah masuk ke sekolah Belanda, maka WM van Eldik menyiasati dengan menambah Rudolf di depan nama Soepratman. Tidak hanya itu, van Eldik juga membuat keterangan bahwa Rudolf Soepratman adalah anaknya.
Namun akhirnya ketahuan kalau Rudolf Soepratman bukan anak WM van Eldik, sehingga ia dikeluarkan dari sekolah Belanda itu. Hal ini tidak mengurangi semangat Soepratman dan iapun kemudian masuk Sekolah Melayu.
Selain belajar di sekolah, Soepratman juga belajar musik dengan kakak iparnya van Eldik. Soepratman lebih tertarik memegang gitar dan biola. Berkat bimbingan van Eldik, akhirnya Soepratman benar-benar mampu menyalurkan bakatnya di bidang petik gitar dan gesek biola.
Tamat di Sekolah Melayu tahun 1917, Soepratman mendalami Bahasa Belanda. Dua tahun kemudian ia berhasil lulus ujian dan mendapatkan diploma KAE (Klein Amtenaar Examen). Setelah itu Soepratman masuk Normaal School, yakni sekolah guru. Tamat di sekolah guru, Soepratman diangkat sebagai guru di Makassar.
Di samping menjadi guru, Soepratman juga terjun dalam kegiatan musik. Tahun 1920 ia mendirikan jazz band yang diberi nama “Black and White”. Band pimpinan Soepratman ini di waktu itu terkenal di Makassar. Bahkan hampir setiap ada acara perkawinan dan ulangtahun, band “Black and White” selalu tampil. Apalagi ia popular di kalangan militer di Kazerne, kala itu.
Suatu ketika ada rencana Soepratman akan dipindahkan menjadi guru di Singkang. Ternyata kakak-kakaknya tidak setuju, sebab waktu itu situasi daerah itu dianggap gawat. Soepratman berhenti jadi guru dan kemudian bekerja sebagai klerk di Firma Nedem. Tidak lama di situ kemudian Soepratman bekerja di kantor Advokat Mr.Schulten, teman WM van Eldik.
Sekitar sepuluh tahun di Makassar, tahun 1924, Soepratman ingin melepas kerinduan terhadap keluarganya di Jawa. Iapun berangkat meninggalkan Makassar menuju Surabaya. Di Surabaya ia tinggal dengan kakaknya yang nomor dua Roekinah Soepratirah yang bersuamikan R.Koesnendar Kartodiredjo, karyawan kantor pelayaran KPM di Surabaya.
Tidak berapa lama, Soepratman menyusul ayahnya Djumeno Senen Sastrosoehardjo di Cimahi, Jawa Barat. Berbeda dengan di Makassar, di Cimahi kehidupan Soepratman tidak menentu. Ia tidak lagi main band seperti di Makassar.
Menjadi Wartawan
Dalam keadaan yang demikian, Soepratman melamar dan diterima menjadi wartawan di Suratkabar “Kaum Muda” di Bandung. Hanya sebentar menjadi wartawan, kemudian Soepratman bergabung dengan grup musik di rumah bola (societeit).
Setahun kemudian, tahun 1925, Soepratman berkenalan dengan Harun Harahap. Dalam perkenalan itu, Harun menyarankan agar Soepratman pindah ke Jakarta dan menemui Parada Harahap yang akan mendirikan kantor berita. Soepratman akhirnya mendapat izin dari ayahnya untuk pindah ke Jakarta.
Di Jakarta waktu itu situasi perjuangan pemuda sangat terasa. Semangat persatuan antarsuku bangsa yang ada di kalangan pemuda semakin kuat. Waktu itulah, Parada Harahap mendirikan kantor berita yang diberi nama “Alpena”. Namun usia kantor berita ini tidak lama, dan kemudian tutup.
Tahun 1926, Soepratman bergabung ke suratkabar “Sin Po”. Ia menjadi wartawan yang ditugaskan mengikuti pertemuan-pertemuan para pemuda dan berbagai organisasi. Soepratman akhirnya sering mengikuti rapat-rata yang diadakan para pemuda di gedung pertemuan Jalan Kenari, Jakarta.
Tulisan yang disajikan Soepratman di koran “Sin Po” makin tajam dan berkualitas, sehingga namanya dikenal sebagai wartawan kawakan. Bahkan tidak jarang tulisannya yang tajam itu menjadi catatan penguasa Belanda.
Bayarannya sebagai wartawan tidak mencukupi kehidupan Soepratman di Batavia atau Jakarta. Ia tinggal di rumah kecil berdinding bambu di gang becek Kampung Rawamangun. Untuk menambah penghasilan iapun melakukan pekerjaan sambilan berdagang kecil-kecilan, menjual buku bekas. Kehidupannya di Jakarta ini sangat berbeda dengan suasana ketika ia berada di Makassar yang penuh gemerlapan mengiringi sinyo-sinyo Belanda berdansa.
Tetapi, perbadaan itu memompa semangat Soepratman semakin mencintai negara dan bangsanya. Apalagi waktu itu ia sering mengikuti acara-acara dengan pidato politik oleh politikus ulung kala itu. Di antaranya: Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Husni Thamrin dan lain-lainnya. Jiwanya sudah terbakar oleh semangat perjuangan kemerdekaan. Soepratman semakin rajin memburu narasumber kaliber besar, sehingga tulisannya di koran “Sin Po” tambah berkualitas dan berbobot.
Makin Keras
Sebagai seorang wartawan di koran “Sin Po” Jakarta, tulisan yang menjadi bahan-bahan pemberitaan WR Soepratman, makin hari makin keras. Ia benar-benar menjadi penyambung lidah dan aspirasi perjuangan rakyat yang dikobarkan oleh para politikus kawakan. Ia tidak lagi sekedar mencatat hasil rapat dan pidato para tokoh politik kaliber besar bangsa Indonesia waktu itu.
WR Soepratman mulai menggali pola pikir dan cita-cita kemerdekaan yang diimpikan para pemimpin pemuda perjuangan. Ia mewawancarai dan memancing semangat yang bergelora di hati para patriot bangsa. Sehingga, tulisan yang disajikan WR Soepratman di koran “Sin Po” itu mulai membakar dan membuat “panas” telinga penguasa Belanda waktu itu.
Pengalaman sebagai wartawan itu sekaligus menjadikan WR Soepratman mengerti tentang politik. Perbincangan dan pembicaraannya dengan tokoh perjuangan, tidak semuanya dituangkan WR Soepratman menjadi bahan beritanya di koran. Banyak hal yang ia serap menjadi pokok pikiran yang ia simpan di otaknya. Dan, WR Soepratman kemudian sudah menyatu dengan politikus. Ia tidak lagi sekedar memburu berita, namun ia sudah terjun bersama para perintis kemerdekaan.
Dunia kewartawanan yang diwarnai jiwa seni benar-benar sudah melekat dan menyatu dalam diri WR Soperatman. Kemudian ditambah lagi dengan semangat patriotik dari lingkungan politik perjuangan bangsa. Dari alam fikir yang paripurna itu, menjelmalah sebuah karakter baru pada diri WR Soepratman. Ia menjadi wartawan yang kritis dan berwawasan luas.
Walaupun bergelut dan semakin matang di bidang politik, karena ia berada di lingkungan para politikus, namun WR Soepratman tetap menempatkan dirinya sebagai seorang wartawan profesional. Ia berusaha tidak hanyut terbawa gelombang politik. Tetapi ia tidak pernah absen mengikuti arus politik. Namun, demi bangsa dan tanahairnya, WR Soepratman menyerasikan dirinya dengan para pejuang.
Mencipta Lagu
Nah, kemudian jiwa seni yang terpendam mulai mengalir dengan deras. Ia tidak hanya sekedar menyanyikan lagu-lagu ciptaan orang lain. Dengan memetik biola kesayangannya, WR Soperatman mulai menaburkan benih yang bakal dipanen bangsa Indonesia kelak. Satu demi satu, lagu ciptaannya lahir. Umumnya yang dipersembahkan WR Soepratman adalah lagu mars yang mempunyai makna kejuangan dan mengandung arti politik.
Lagu mars pertama ciptaan WR Soepratman, sudah mampu memberi semangat juang bagi para pemuda. Lagu itu adalah lagu “Dari Barat sampai ke Timur”. Lagu ini menjadi inspirasi para pemuda pejuang untuk bersatu dalam wadah “Indonesia”. Syairnya dan iramanya cukup menyentuh, sehingga sering menjadi pembakar semangat juang para pemuda yang berasal dari berbagai pelosok Nusantara. Dan lagu “Dari barat sampai ke timur” ini sering dinyanyikan pada acara rapat-rapat.
Inilah syair lagu itu:
Dari barat sampai ke timur
Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia
Indonesia tanahairku
Aku berjanji padamu
Menjunjung tanahairku
Tanaiairku Indonesia
Sampai sekarang lagu ini masih berkumandang di bumi pertiwi dan menjadi salah satu lagu wajib. Namun, kalimat dari barat sampai ke timur diubah menjadi: “Dari Sabang sampai Merauke”.
Setelah lagi ciptaannya yang pertama ini mulai popular di kalangan pemuda dan anak-anak, WR Soepratman menciptakan lagu-lagu yang lain. Salah satu di antaranya, adalah: lagu “Indonesia Raya”.
Menjadi Lagu Kebangsaan
Semangat pemuda untuk meneruskan cita-cita perjuangan generasi Budi Utomo 1908 semakin merasuk ke dalam jiwa pemuda tahun 1926-an. Apalagi, di berbagai daerah sudah bermunculan perkumpulan politik. Bahkan, secara terang-terangan para pemuda pejuang itu mendirikan partai politik. Berbagai perkumpulan pemuda dari berbagai suku di Nusantara lahir di Jakarta.
Perkumpulan ini bergerak mempelopori pertemuan yang bersifat nasional. Perkumpulan itu adalah Jong Java, Jong Sumatra dan Jong Celebes (Sulawesi). Menyusul kemudian bergabung pula Jong Ambon (Maluku), Jong Batak dan lain-lainnya.
Pada tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926 perkumpulan pemuda itu mengadakan pertemuan yang kemudian disebut Kongres Pemuda I. Dalam kongres ini disepekati, bahwa bahasa resmi yang digunakan adalah: Bahasa Indonesia.
Rapat-rapat pemuda pejuang semakin gencar untuk membangun semangat persatuan. Setelah Bahasa Indonesia resmi menjadi “bahasa persatuan”, dua tahun kemudian diselenggarakan Kongres Pemuda II, tepatnya 28 Oktober 1928.
Ternyata, WR Soepratman membuat kejutan. Kalau sebelumnya lagu “Dari barat sampai ke timur” sudah memasyarakat, saat Kongres Pemuda II ini, WR Soepratman memperkenalkan lagu ciptaannya yang terbaru: “Indonesia Raya”.
Bersama orkes “Indonesia Merdeka” yang dipimpinnya WR Soepratman menggesek biola, bergemalah irama yang sangat menusuk. Suasanapun menjadi hening tatkala koor pelajar menyanyikan syair lagu Indonesia Raya. Hadirin terkesima dan sertamerta berdiri tegap tanpa komando.
Saat sampai ke refrein yang mengumandangkan kalimat terakhir: “Hiduplah Indonesia Raya”, hadirin menjadi historis. Ada yang mengacungkan kepalan tangan, karena semangatnya benar-benar sudah terbakar.
Kongres Pemuda Indonesia II, 28 Oktober 1928 itu, akhirnya sepakat menetapkan lagu “Indonesia Raya” sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Walaupun demikian, dibentuk suatu panitia untuk melakukan kajian yang mendalam tentang syair lagu yang diperdengarkan itu. Salah satu yang mengganjal saat itu adalah kata-kata “Indones”, bukan Indonesia yang dilafalkan oleh para pelajar saat menyuarakan kalimat “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka”.
Panitia yang dipimpin Bung Karno itu dengan anggota: Ki Hajar Dewantara, Achiar, Soedibjo, Darmawidjaja, Koesbini, KHM Mansjur, Mr.Muhammad Yamin, Mr.Sastromoeljono, Sanusi Pane, C.Simandjuntak, Mr.Achmad Soebardjo dan Mr.Oetojo.
Dalam penyempurnaan yang dilakukan oleh panitia itu, kemudian diketahui terjadi beberapa perubahan. Di antaranya: kata “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka” menjadi: “Indonesia Raya Merdeka, Merdeka”
Sedangkan Kongres Pemuda Indonesia II, 28 Oktober 1928 itu secara resmi menghasilkan “Sumpah Pemuda”. Para pemuda Indonesia yang disebut sebagai putera-puteri Indonesia, menyatakan: satu tanahair, satu bangsa dan satu bahasa, yakni: Indonesia.
Andaikata waktu itu Indonesia bukan negara terjajah, seorang komponis dan pencipta lagu kebangsaan sekaliber WR Soepratman, pasti sudah menjai idola. Ia akan mendapat sanjungan dari mana-mana. Tetapi tidak demikian halnya dengan WR Soepratman.
Justru, karena ia sebagai pencipta lagu Indonesia Raya yang mulai membakar semangat juang untuk merdeka, membuat WR Soeprtaman tidak tenteram. Gerak-geriknya selalu diikuti oleh mata-mata dan polisi rahasia Belanda.
Disapa Bung Karno
Sebagai wartawan koran “Sin Po”, tahun 1930 WR Soepratman ditugaskan meliput persidangan perkara Ketua PNI (Partai Nasional Indonesia), Ir.Soekarno di Pengadilan Negeri Bandung. Ketika berada di depan pintu masuk ruang sidang, Soekarno melihat WR Soepratman.
Sertamerta Soekarno menunjuk dan berusaha menjabat tangan wartawan itu, sembari berkata: “Daar hebt je de komponis van Indonesia Raya? Strijdt voort voor onze vrijheid Meneer Soepratman. Merdeka!”. Semua yang hadir terkejut, pandangan orang di ruang sidang pengadilan itu tertuju kepada WR Soeprtaman, termasuk orang Belanda.
Sapaan Bung Karno yang diucapkan dengan bahasa Belanda itu artinya: “Bukankah anda pencipta lagu Indonesia Raya? Berjuang teruslah demi kemerdekaan kita Tuan Soepratman. Merdeka!”. WR Soepratman membalas dengan senyum dan anggukan.
Sidang pengadilan di Bandung itu, Bung Karno divonis hukuman penjara. Saat pulang ke Jakarta, pikiran WR Soepratman tidak tenang. Ia sangat sadar, gerak-geriknya diikuti oleh polisi rahasia Belanda.
Hari demi hari dilalui WR Soepratman. Di dalam dirinya sudah menyatu sebuah profesi wartawan dengan jiwa seni. Tetapi jangan disamakan dengan wartawan dan seniman besar masa kini. Ia tetap hidup miskin dengan bayaran honor yang kecil.
Tahun 1929, lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman direkam pada piringan hitam oleh perusahaan rekaman Lokananta di Surakarta (Solo). Dengan demikian, lagu Indonesia Raya semakin meluas dan diperdengarkan di mana-mana, bahkan sampai ke luar negeri.
Pemerintahan Belanda tersinggung dengan peredaran piringan hitam lagu Indonesia Raya itu. WR Soepratman dipanggil oleh Procureur General yang menanyakan tentang maksud dan tujuan mengarang lagu Indonesia Raya. Kemudian secara tegas pihak Belanda “melarang” kata: “Merdeka, Merdeka” dalam lagu Indonesia Raya itu.
Situasi politik semakin memanas. Aktivitas WR Soperatman sebagai wartawan koran “Sin Po” mulai tidak tenang. Kemanan dirinya terancam. WR Soepratman tidak leluasa bepergian ke mana-mana. Ia sering menyendiri, termenung dalam rumahnya yang sempit.
Aktif Berorganisasi
Di samping sebagai wartawan koran “Sin Po”, WR Soepratman juga aktif dalam organisasi kepemudaan. Salah satu organisasi yang diterjuninya secara langsung adalah Angkatan Muda Betawi (AMB). WR Soepratman bergabung ke AMB setelah berkenalan dengan M.Tabrani, redaktur suratkabar Melayu “Hindia Baru” yang terbit di Jakarta.
Aktivitas WR Soepratman selain menjadi wartawan, pencipta lagu Indonesia Raya, serta lagu-lagu perjuangan, pihak intelejen Belanda juga mengawasi kegiatan WR Soeprataman dalam organisasi kepemudaan yang juga sebagai salah satu pelopor Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda itu.
Dalam keadaan tertekan dan selalu menghindar dari intaian pihak penjajah itu, WR Soepratman yang kurus itu sering sakit-sakitan. Awal tahun 1934 ia dibawa pulang oleh saudaranya ke rumah ayahnya di Jalan warung Contong Cimahi, Jawa Barat.
Ternyata, masyarakat Cimahi sudah mendengar kalau pencipta lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan itu berada di rumah ayahnya di Cimahi. Hampir tiap hari anak-anak muda berkunjung ke rumahnya. Mereka minta WR Soepratman mendemonstrasikan keahliannya menggesek biola. Tanpa dikomando, saat ada irama yang mereka ketahui, sertamerta pemuda itu menyanyikan lagu-lagu tersebut. Saat itu lagu yang menjadi favorit adalah Indonesia Raya dan Dari Barat sampai ke Timur.
Pemerintah Hindia Belanda gerah juga melihat aktivitas anak muda yang selalu mendatangi WR Soepratman. Kecurigaan terhadap WR Soepratman memuncak. Dalam keadaan sakit itu, Soepratman makin tidak tenang. Akhirnya, keluarganya mengungsikan WR Soepratman ke Jawa Tengah. Tetapnya di rumah kakaknya Ny.Roekinah Soepratirah yang tinggal di Randudongkal, Kabupaten Pemalang. Ny.Roekinah hidup bersama suaminya Menang Koesnendar Kertoredjo yang menjadi pegawai kantor Pamongpraja Pekalongan.
Selama berada di Pemalang ini, WR Soeprtaman boleh dikatakan benar-benar dapat beristirahat. Penyakit yang dideritanya berangsur-angsur dirasakan berkurang. Bahkan tahun 1936 ia merasa agak sembuh. Kemudian ia diajak kakaknya Roekijem Soepratijah ke Surabaya yang dulu membesarkan WR Soepratman saat berada di Makassar bersama suaminya WM van Eldik.
Di Surabaya mereka tinggal di Jalan Mangga 21, Kelurahan Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya.
Masyarakat Surabaya, juga sudah lama mengenal nama WR Soepratman. Saat diketahui wartawan yang juga pencipta lagu Indonesia Raya itu berada di Surabaya, beberapa wartawan dan tokoh perjuangan mendatanginya.
Berkenalan dengan Dr.Sutomo
Menurut Oerip Kasansengari dalam bukunya Lagu Indonesia Raya dan WR Soepratman Penciptanya (masih ejaan lama, terbitan tahun 1967) . Sekarang buku ini sudah mengalami revisi dan dicetak ulang tahun 2007 oleh Ir.H.Oerip Soedarman putera almarhum Oerip Kasansengari.
WR Soepratman krasan (betah) tinggal di Surabaya. Secara kebetulan saat itu Dr.Sutomo, salah seorang tokoh Budi Utomo sedang mengadakan berbagai kegiatan di Surabaya, di antaranya menyelenggarakan kursus-kursus.
Dr.Sutomo saat itu juga sebagai ketua Pengurus Besar Parindra (Partai Indonesia Raya) dan pembina Kwartir Kepanduan Surya Wirawan. Di sini berhimpun anak muda Surabaya. Bahkan, sejak lagu Indonesia Raya diperdengarkan dalam Kongres Pemuda tahun 1928, lagu itupun menjadi “lagu wajib” bagi Parindra.
WR Soepratman berulangkali minta kepada keluarganya untuk diizinkan keluar rumah dan berkenalan dengan Dr.Sutomo. Tetapi selalu saja ditolak, karena kesehatannya belum memungkinkan. Kalangan pemuda yang menjadi anggota Parindra dan kepanduan Surya Wirawan pun, silih berganti datang menemui WR Soepratman di Jalan Magga 21 Surabaya itu.
“Guna menghibur hatinya dan memenuhi keinginannya, Soepratman saya ajak jalan-jalan. Sebenarnya kami berdua menuju ke rumah Dr.Sutomo. Dalam perkenalan pertama dan ramah-tamah ini, Soepratman diminta menghadiri kursus yang diadakan tiap minggu di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan Surabaya. Soepratman menyanggupi ajakan Dr.Sutomo itu”, kata Oerip Kasansengari.
Oerip Kasansengari adalah kakak ipar Ny.Giyem Soepratinah kakak kandung WR Soepraman yang juga tinggal di Surabaya itulah yang sering menemani WR Soepratman selama berada di Surabaya hingga akhir hayatnya.
Saat kursus akan dimulai, Dr.Sutomo yang baru saja menerima kehadiran WR Soepratman, langsung diperkenalkan kepada peserta kursus. Semua yang hadir di ruang GNI yang penuh sesak itu, mengalu-elukan WR Soeprataman. Ternyata warga Surabaya khususnya keluarga besar Parindra sudah hafal betul lagu Indonesia Raya. Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya disaksikan oleh sang penciptanya. WR Soepratman benar-benar terharu.
Sejak waktu itu, nama WR Soepratman tidak dapat dipisahkan dengan Parindra dan kepanduan Surya Wirawan. Kendati masih dalam keadaan sakit, WR Soepratman menggubah lagu mars untuk Parindra dan Surya Wirawan. Lagu mars itu terus diperdengarkan di mana-mana setiap ada acara Parindra dan Surya Wirawan.
Selain lagu Indonesia Raya, Dari Barat sampai ke Timur, mars Parindra dan mars Surya Wirawan, WR Soepratman juga pencipta lagu: Ibu Kita Kartini, mars KBI (Kepanduan bangsa Indonesia), Di Timur Matahari, Bangunlah Hai Kawan dan Matahari Terbit.
Kecuali itu, bakat menulis yang ditimbanya di dunia kewartawanan mendorong WR Soepratman menulis buku. Buku karangan WR Soepratman yang pernah diterbitkan antara lain, buku berjudul: “Perawan Desa”, “Darah Muda” dan “Kaum Fanatik”. Buku Perawan Desa, peredarannya dilarah Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930. Buku itu antara lain menyingkap kekejaman para tengkulak dan dianggap mempengaruhi keamanan.
Wafat di Jalan Mangga 21
Berada di Kota Surabaya, bagi Soepratman merupakan akhir perjuangan dan baktinya untuk bangsa Indonesia. Sakit yang dideritanya, terus menggerogoti dari dalam.
Kendati dalam keadaan sakit, semangat perjuangan WR Soepratman tetap menggebu-gebu. Suatu hal yang tidak diduga akhirnya datang jua. Pada Minggu, pukul 17.00, tanggal 7 Agustus 1938 saat sedang memimpin anggota pandu KBI menyanyikan lagu ciptaannya yang terakhir “Matahari Terbit” yang disiarkan langsung di NIROM (sekarang RRI), waktu itu di Jalan Embong Malang, ia ditangkap polisi PID. Sepasukan PID (Polisi Militer) Belanda itu menggiring WR Soepratman ke luar gedung dan ditahan langsung dimasukkan ke penjara Kalisosok.
Namun, karena penyakitnya tambah parah saat berada di penjara, sepekan kemudian WR Soepratman diizinkan dibawa pulang oleh keluarganya, ke rumah di Jalan Mangga 21, Kecamatan Tambaksari Surabaya. Dengan penuh kesabaran, WR Soepratman melalui masa-masa sepinya di rumah Jalan Mangga 21 Surabaya ini. Di sini ia hanya ditunggui dan dirawat oleh saudara-saudaranya saja.
Salah satu di antara sahabatnya yang sering datang menjenguknya adalah Imam Soepardi, salah seorang wartawan pergerakan di Surabaya, zaman itu.
Dua hari sebelum wafat, kakak ipar uang juga teman seperjuangannya, Oerip Kasansengari mengunjungi WR Soepratman yang bertubuh kurus itu terbujur di tempat tidurnya. Saat itu WR Soepratman mengucapkan kalimat yang selalu diingat oleh Oerip Kasansengari, yakni: “Mas nasibku sudah begini. Inilah yang disukai pemerintah Hindia Belanda. Biarlah aku meninggal, aku ikhlas. Aku sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Aku yakin mas, Indonesia pasti merdeka”.
Menurut Oerip Kasansengari, suara WR Soepratman waktu itu keluar sangat lembut, tetapi penuh dengan keyakinan. Itulah kata-katanya yang terakhir.
Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un! Pada hari Rabu, Wage, pukul 12 malam, tanggal 17 Agustus 1938, WR Soepratman menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya itu berpulang ke Rakhmatullah. Di rumah bersejarah, Jalan Mangga 21 Surabaya itu.
Selain keluarga Roekijem Soepratijah bersama suaminya WM van Eldik yang menempati rumah di Jalan Mangga 21 Surabaya itu, puluhan warga bersama anggota Parindra, kepanduan Surya Wirawan, KBI dan HW (Hizbul Wathan), serta beberapa wartawan mengantarkan jenazah ke TPU Kapas, sebelah utara Jalan Kenjeran Surabaya. WR Soepratman dimakamkan secara agama Islam sesuai agama yang dianutnya.
Tanggal 20 Mei 1953 dibentu panitia pemindahan makam WR Soepratman dipindahkan ke pojok Jalan Tambak Segaran Wetan, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, di sebelah selatan Jalan Kenjeran Surabaya. Makam baru WR Soepratman itu diresmikan tanggal 25 Oktober 1953 oleh Gubernur Jawa Timur, Samadikun.
Pada saat kepemimpinan Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro, mulai tanggal 15 September 2000 dan selesai pada tanggal 9 Maret 2003 dilakukan pemugaran makam WR Soepratman. Sekarang makam WR Soepratman terletak pada tanah yang ditinggikan, serta berada di bawah rumah joglo khas Jawa Timur.
Di komplek makam itu juga berdiri patung WR Soepratman dan “biola” kesayangannnya. Bahkan, rumah di Jalan Mangga 21, tempat WR Soepratman meninggal dunia kini dijadikan Museum WR Soepratman. Di rumah ini juga disimpan “biola” duplikat milik WR Soepratman.
Tanda Jasa
Sudah tidak dapat dipungkiri, sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, WR Soepratman akan dikenang sepanjang masa. Sungguh tepat berbagai penghargaan dan tanda jasa dianugerahkan kepadanya.
Bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI, 17 Agustus 1960, Presiden Soekarno atas nama Pemerintah Republik Indonesia memberikan “Bintang Mahaputera Anumerta III” kepada almarhum WR Soepratman.
Presiden Soeharto dengan Kepres No.16/SK/1971 tanggal 20 Mei 1971 menganugerahkan gelar “Pahlawan Nasional” kepada Wage Rudolf Soepratman.
Dengan Kepres No.017/TK/1974 tanggal 19 Juni 1974, Presiden Soeharto kembali mempersembahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama kepada almarhum WR Soepratman.
Sebelum tanda-tanda jasa yang dianugerahkan Pemerintah Republik Indonesia itu, pada tanggal 28 Oktober 1953, Gubernur Jawa Timur, Samadikun, memberikan “Piagam Penghargaan” kepada almarhum WR Soepratman yang diterima keluarganya di Surabaya.
Penghargaan yang diberikan kepada WR Soepratman tidak hanya berhenti sampai di sana, selain diabadikan menjadi nama jalan di berbagai kota. Namanya juga diabadikan sebagai nama universitas di Surabaya, yakni Universitas WR Soepratman (Unipra) dan Perguruan Soepratman di Medan, Sumatera Utara.
Saat ini, salah satu penghargaan terhadap WR Soepratman adalah hiasan fotonya yang terpampang di halaman muka lembaran uang kertas Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan beredar mulai 1 Juli 1999.
Balada “Janda” Salamah
Sewaktu menjadi wartawan koran “Sin Po” tahun 1926 hingga tahun 1930-an, WR Soepratman sering membonceng seorang wanita dengan sepedanya. Wanita yang bernama Salamah itu ikut ke mana Soepratman pergi mewawancarai narasumbernya. Juga bersama Salamah ini pula WR Soepratman tinggal di rumah yang sangat sederhana di Jakarta.
Salamah “pernah” disebut sebagai “janda” WR Soepratman, sehingga dialah yang menjadi “ahli waris” sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya itu. Ketika Pemerintah RI menganugerahkan Bintang Mahaputera Anumerta III tanggal 19 Juni 1961, yang menerima adalah Ny.Salamah.
Kebaradaan atau status Ny.Salamah sebagai “janda” WR Soepratman itu awalnya berdasarkan surat dari Bupati Rembang, Jawa Tengah, R.Soekardji Mangoenkoesoemo. Dalam surat tanggal 16 Juli 1951 itu dijelaskan tentang Ny.Salamah yang waktu itu berusia sekitar 30 tahun, menerangkan bahwa ia adalah janda WR Soepratman. Setelah WR Soepratman meninggal dunia, ia pulang ke kampungnya, kampung Kesaran, Desa Tasikagung, Kota Rembang. Di sini Ny.Salamah bekerja di Rumah Sakit Rembang.
Sebagai “ahli waris”, janda almarhum WR Soepratman mendapat pengesahan dari Departeman Sosial RI, sebagaimana ditetapkan oleh Winoto, Kabinet Presiden RI tanggal 6 Agustus 1951. Kemudian atas nama Mensos, Jusuradi Danudiningrat, juga menegaskan sebagai janda almarhum WR Soepratman, Ny.Salamah mendapat bantuan sebesar f.50,- hingga f.100 (lima puluh gulden hingga seratus gulden) tiap bulannya melalui Kantor Sosial Pati, Jawa Tengah (gulden adalah mata uang Belanda yang waktu itu berlaku sebagai pembayaran yang sah di Indonesia, sebelum Indonesia merdeka).
Kepala Kantor Sosial Daerah Pati, Soekandi Handjojosoesanto, akhirnya menetapkan memberikan bantuan f.75 kepada Ny.Salamah tiap bulan terhitung sejak 1 Juli 1950.
Majalah Jakarta
Majalah Violeta Jakarta No.288 yang terbit 13 Desember 1977, menurunkan tulisan berjudul: “Ny.Salamah Janda Pahlawan WR Soepratman”. Karya jurnalistik yang oleh Narjo itu menyebutkan tentang kisah cinta Salamah dengan Soepratman. Berawal ketika Salamah berkenalan dengan Soepratman di Jalan Kwitang, Jakarta. Waktu itu Salamah hendak mencari adiknya ke Cimahi dan mereka sama-sama berangkat.
Setelah dari Cimahi itu, mereka berdua kembali ke Jakarta. Dalam tulisan itu, diungkap tentang “surat nikah” Soepratman dengan Salamah yang ditandatangani KHA Sjukur Chairi dengan saksi-saksi Morullah bin Solihin (pegawai PTT) dan R,Umar said (pensiunan militer).
Surat nikah itu kemudian dikukuhkan oleh Pengadilan Agama dengan SK No.619 tahun 1962. Surat nikah inipun dilampirkan untuk melengkapi berkas Keputusan Presiden RI No.016/TK/1971 tanggal 25 Juni 1971 tentang pengangkatan WR Soepratman sebagai Pahlawan Nasional.
Majalah Variasi edisi No.225 tanggal 14-30 Maret 1987, juga menurunkan tulisan berjudul “Ny.Salamah Janda Pahlawan WR Soepratman”. Dalam tulisan itu dijelaskan tentang Salamah yang dilahirkan tahun 1904, anak seorang agen polisi bernama Soerodihardjo.
Salamah semula dikawinkan orangtuanya dengan seorang guru desa, lalu pindah ke Semarang. Di sana suaminya sakit dan kemudian meninggal dunia. Setelah menjanda, Salamah ingin menemui adiknya Soepardjan yang tinggal di Bandung. Saat akan ke Bandung dari Jakarta itulah Salamah bertemu Soepratman di stasiun.
Kebetulan waktu itu Soepratman bermaksud akan ke Cimahi. Ternyata, Salamah tidak bertemu dengan adiknya di Bandung. Akhirnya, ia bersama Soepratman kembali ke Jakarta.
Setelah berada di Jakarta, mereka hidup bersama. Menurut Salamah, mereka menikah di Gang Sentiong dan menempati rumah kontrakan milik Solichin di Gang Tengah dekat Pasar Genjing, Rawasari.
Kepada wartawan majalah Variasi, Muchtar Nasution, Salamah menceritakan pula penderitaan dan keadaan Soepratman sebagai wartawan koran Sin Po waktu itu. “Gaji Soepratman waktu itu dihitung berdasarkan banyaknya berita yang dimuat. Untuk dua kolom berita waktu itu, mereka bisa membeli dua liter beras”, kisah Salamah.
Setelah Soepratman meninggal dunia, Salamah pulah ke Jawa Tengah, ia bekerja di Rumah Sakit di Rembang. Surat nikah Salamah ditemukan dalam bungkusan kertas koran di lemari. Ternyata sudah berlobang-lobang dimakan rayap. Berkat usaha dr.Djarot, diperoleh salinan surat nikah yang kemudian disahkan oleh Komwil 75 Kampung Melayu. Surat inilah yang menjadi salah satu bukti, bahwa Ny.Salamah selalu janda WR Soepratman.
Majalah Femina, No.170 tanggal 6 November 1979, menurunkan tulisan yang mengisahkan Ny.Salamah, dengan judul “WR Soepratman Dalam Kenangan Saya”.
Salamah mengisahkan waktu berusia 15 tahun ia menikah dengan seorang guru. Namu setahun kemudian suaminya meninggal dunia. Ia menjadi janda tanpa anak. Saat berada di Jakarta saat akan berangkat ke Cimahi, Jawa Barat, ia bertemu dengan WR Soepratman. Mereka sama-sama dengan keretaapi menuju Bandung. Setelah itu, mereka sama-sama kembali ke Jakarta dan tidak lama kemudian mereka menikah.
Sewaktu Soepratman sakit, keluarganya membawanya ke Surabaya. Salamah mengaku tidak boleh ikut, karena sejak perkawinan itu hubungannya dengan keluarga Soepratman tidak mesra. Sampai Soepratman meninggal dunia, Salamah mengakui, memang ia tidak dapat kesempatan sama sekali untuk bertemu.
Majalah Kartini No.178 tanggal 31 Agustus-13 September 1981, menurunkan tulisan berjudul “Janda WR Soepratman Seorang Diri Menempuh Masa Tua”. Pada masa tuanya itu, Ny.Salamah tinggal di sebuah rumah mungil hadiah dari Ny.Tien Soeharto di kawasan Kelapa Gading Permai, Jakarta.
Puluhan tahun Ny.Salamah terlunta-lunta dalam keadaan hidup sernba kekurangan, karena status perkawinannya dengan WR Soepratman diragukan. Akibatnya, semua bintang jasa dan perhargaan yang diterimanya ditarik kembali.
Pada edisi khusus tahun 1989, Majalah Kartini No.379 kembali menurunkan tulisan tentang Ny.Salamah. Tulisan itu berjudul “Segenggam Kebahagiaan di Ujung Senja”. Di sini diceritakan kisah pertemuan pertamanya dengan WR Soepratman, sampai kemudian hidup bersama di Jakarta.
Ketika Soepratman dalam keadaan sakit, tulis Ln di majalah Kartini itu, kakak perempuannya Ny.Roekijem Soepratijah yang kaya, membawanya ke Surabaya. Sampai Soepratman meninggal dunia, keluarga Soepratman tidak mengakui keberadaan Ny.Salamah sebagai saudara iparnya. Mereka tidak mengakui adanya pernikahan. Justru, keberadaan Ny.Salamah di rumah WR Soepratman di Jakarta waktu itu hanya berstatus “pembantu rumah tangga”.
Masih pada Majalah Kartini edidi khusus tahun 1989 itu, ada tulisan yang diturunkan oleh wartawan dengan inisial RH. Tulisan itu berjudul “Soepardjo: Saya Berani Sumpah, Salamah itu Bukan Isteri Sah WR Soepratman”. Saat tulisan itu diturunkan Soepradjo berusia 81 tahun dan Ny.Salamah 85 tahun.
Salamah Minta Maaf
Kendati banyak cerita tentang kedekatan Ny.salamah dengan WR Soepratman, namun dengan tegas keluarga besar WR Soepratman tidak mengakui Ny.Salamah sebagai “isteri” dan “janda” dari WR Soepratman.
Sesuai dengan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 12 Agustus 1958, oleh hakim Ismu Sumbaga ditetapkan empat orang ahli waris sah WR Soepratman. Ke empat orang itu (waktu itu) adalah: Ny.Roekijem Soepratijah, Ny.Roekinah Soepratirah, Ny.Ngadini Soepratini dan Ny.Gijem Soepratinah.
Ke empat orang itu adalah saudara-saudara WR Soepratman yang masih hidup pada saat putusan PN Surabaya tanggal 12 Agustus 1958. Sekarang ke empat orang ini semuanya sudah meninggal dunia, sehingga ahliwaris WR Soepratman diberikan kepada keturunannya, yakni cucu dan cicitnya.
Di hari-hari terakhir menjelang meninggal dunia, Ny.Salamah dirawat di Rumah sakit Sumber Waras, Jakarta. Tiga hari sebelum mengalami “koma” tulis Anthoni C.Hutabarat, ada keluarga WR Soepratman dari Warung Contong Cimahi, Jawa Barat yang datang menjenguk. Ocok Batubara, adalah salah seorang cucu Ny.Ngadini Soepratini, kakak perempuan WR Soepratman yang sebelumnya sudah kenal baik dengan Ny.Salamah.
Menurut Ucok, saat itu Ny.Salamah menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga besar WR Soepratman yang pernah “mengaku” sebagai janda Soepratman. Bahkan ujar Ucok, ia juga dipesankan agar berziarah ke makam almarhumah Ny. Roekijem Soepratijah (kakak WR.Soepratman) di pemakaman umum Karet, Jakarta.
Ny.Salamah meninggal dunia tanggal 14 Januari 1992 dalam usia 85 tahun. Ia meninggalkan seorang anak angkat WNI keturunan Cina, bernama Pomiaty (waktu tahun 1992 berusia 36 tahun). Perkawinan Pomiaty dengan Sarianto yang juga keturunan Cina, melahirkan anak perempuan yang tahun 1992 itu berusia delapan tahun.***
*) Yousri Nur Raja Agam MH Wartawan Senior dan Pemerhati Sejarah bermukim di Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar